Bahasa: Unsur Kebudayaan dan Implikasinya Terhadap Pendidikan



Kita ketahui bersama bahwa dalam Ilmu Antropologi ada berbagai macam unsur kebudayaan, diantaranya adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. (Kuntjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi).

Tiap-tiap unsur kebudayaan universal sudah tentu juga menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan, yaitu wujud yang berupa sistem budaya, berupa sistem sosial, dan berupa unsur-unsur kebudayaan fisik. Namun dalam hal ini tidak akan dijelaskan mengenai ketiga wujud kebudayaan, tetapi akan lebih ditekankan kepada unsur kebudayaan salah satunya adalah bahasa, dan lebih terpetakan kepada kebudayaan bahasa Sunda. Dalam kebudayaan bahasa Sunda, masyarakat suku Sunda mengenal akan adanya trilogi/ tritangtu/ tripatri falsafah sunda yaitu silih asah, silih asih, dan silih asuh. Ketiga falsafah sunda ini berimplikasi kepada pendidikan. Sebagai contoh kita kenal adanya konsep saling mendidik, saling mengasihi dan saling menjaga. Ketiganya berkaitan langsung dengan trilogi falsafah sunda ini.

Sebelum memahami unsur kebudayaan bahasa, khususnya kebudayaan bahasa dalam bahasa sunda disini akan terlebih dahulu dijelaskan mengenai kebudayaan. Secara etimologi istilah “kebudayan” atau “culture” berasal dari bahasa sansekerta Buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari Buddhi yang berarti budi atau kekal. Sedangkan menurut antropologi kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. (Koentjaraningrat, 2011:72).

Para ahli antropologi dalam banyak literaturnya menyebutkan mengenai kaitannya antara kebudayaan dan pendidikan salah satunya yaitu Ward H. Goodenough seorang ahli linguistik yang tertarik pada kebudayaan sekitar pertengahan tahun 1950-an menjelaskan mengenai Kebudayaan dalam perspektif antropologi kognitif. Adapun kebudayaan dalam perspektif antropologi kognitif yaitu subbidang antropologi budaya yang mengkaji antar hubungan diantara bahasa, kebudayaan, dan kognisi. Atau dengan kata lain, Antropologi kognitif merupakan ancangan dalam antropologi budaya yang memandang kebudayaan sebagai kognisi manusia. (Oetomo, 2000:3).

Dalam hal ini Ward H. Goodenough menjelaskan pengertian kebudayaan dalam perspektif antropologi kognitifnya menyebutkan adanya bahasa sebagai subbidang antropologi, dengan kata lain bahasa mendahului kebudayaan. Memang ada tiga pandangan yang melihat hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Bahasa mendahului kebudayaan, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, sera kebudayaan dan bahasa berposisi sejajar. (Ahimsa Putra, 2001: 23).

Adapun pengertian bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer (sewenang-wenang) yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa hampir seluruh tindak tanduk serta gerak gerik manusia adalah tidak terlepas dari “kebudayaan”, dan “bahasa” mengapa demikian? Karena jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari kebudayaan dan bahasa. Sebagai contoh dari Unsur kebudayaan bahasa yaitu adanya bahasa dari setiap daerah yang lahir dan berlandaskan pada budaya yang dimiliki pada setiap daerah.

Berbicara mengenai unsur kebudayan Bahasa khususnya dalam bahasa Sunda, masyarakat sunda memiliki trilogi falsafah yang terus dipegang teguh oleh masyarakatnya. Sebagai contoh yaitu: silih asah, silih asih, dan silih asuh. Kalimat tersebut memperlihatkan secara khusus karakter unik budaya dan bahasa masyarakat sunda yang berimplikasi pada Pendidikan. Nilai silih asah, silih asih, dan silih asuh mengandung satu unsur kata yang sama berupa silih artinya saling. (Suryagala, 2010: 171-172).

Pertama, Silih Asah. Dalam  Trilogi falsafah Sunda kita kenal yang pertama adalah silih asah, silih asah ini terdiri dari dua suku kata yaitu Silih dan Asah yang artinya Silih dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Saling, ganti, tukar. Sedangkan Asah adalah saling menajamkan pikiran atau saling mengingatkan. Dalam masyarakat Sunda Silih Asah ini artinya saling memberikan pengajaran, dan lain sebagainya. Dengan penggunaan kata saling sudah menunjukkan adanya gerak aktif dari pihak yang bersangkutan, saling memberi respon dengan penuh kesantunan. Dalam hal ini dilihat dari kacamata pendidikan tentunya ada kewajiban untuk mengajar. Dr. Abdullah Nashih ‘ulwan dalam bukunya Pendidikan Anak alam Islam menjelaskan bahwa Kewajiban untuk mengajar tidak hanya ditekankan pada Pendidik tetapi juga orang tua berperan aktif dalam mengajar terhadap anak-anak dan peserta didik dalam ranah pendidikan formal. Implikasi Konsep dasar silih asah dalam pendidikan adalah saling mencerdaskan, saling menambah ilmu pengetahuan, memperluas wawasan dan pengalaman lahir maupun batin. Capaian akhir dari konsep dasar Silih Asah ini adalah peningkatan kualitas kemanusiaan dalam segala aspeknya, baik pada tataran kognisi, afeksi, spiritual maupun psikomotorik.

Kedua, Silih Asih. Kedua kata ini berkaitan dengan Kasih sayang atau masyarakat sunda lebih mengenal istilah ini dengan Welas Asih. Dalam pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia silih Asih terdiri dari dua suku kata yaitu Silih dan Asih keduanya mempunyai pengertian yaitu Saling mengasihi. Adapun pengertian lain dari silih asih adalah Transformasi kasih sayang yang berupa welas asih yang mencakup kepada interaksi religius-sosial menekankan kepada cinta kasih kepada tuhan, alam dan sesama manusia. Mengenai Silih Asih dan implikasinya terhadap pendidikan yaitu adanya tanggung jawab Pendidikan sosial. Maksud dari pendidikan sosial adalah mengajari anak sejak kecil untuk berpegang pada etika sosial yang bertujuan agar seorang anak terampil dalam dimasyarakat sebagai generasi yang mampu berinteraksi sosial dengan baik, beradab, dan berperilaku bijaksana dimana hal ini erat kaitannya dengan konsep silih Asih. Capaian akhir dari konsep silih asih ini adalah peningkatan kualitas moral manusia dalam segala tindak tanduk kehidupannya, baik dalam pendidikan maupun dalam bersosial dengan cara berkasih sayang antar sesama.

Ketiga, Silih Asuh. Silih Asuh berasal dari kata silih dan Asuh yang mengandung makna saling membimbing, menjaga, mengayomi, dan memperhatikan. Tradisi silih Asuh inilah yang selanjutnya bisa meningkatkan ikatan emosional yang sudah tercipta pada Unsur kebudayaan bahasa khususnya bahasa sunda mengenai Trilogi Falsafah sunda yaitu silih Asah dan silih asuh. Adapun Implikasinya terhadap pendidikan yaitu adanya semangat untuk terbebas dari kebodohan dan kecemasan hidup untuk mengantisipasi modernisasi dengan saling membimbing, menjaga, memperhatikan, dan lain sebagainya. Hal ini tentu perlu adanya upaya pendidikan untuk bisa terbebas dari kebodohan dan kecemasan hidup. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan belajar dan mendidik anak secara langsung baik itu pendidikan keimanannya, pendidikan moral, pendidikan fisik, pendidikan akal, pendidikan kejiwaan, dan pendidikan sosial. Capaian akhir dari konsep Silih Asuh ini adalah pengkikisan kebodohan dalam masyarakat dengan menerapkan konsep silih Asuh atau saling membimbing sehingga mewujudkan masyarakat sunda yang tata tentremkarta raharja (hidup tentram dan sejahtera).

Sebenarnya makna silih asah, silih asih, dan silih asuh ini merupakan sebuah kearifan budaya sunda yang mengandung nilai keharmonisan dalam membangun kualitas kemanusiaan yang bersifat universal dimana sifat keuniversalan dari trilogi falsafah sunda silih asah, silih asih dan silih asuh ini mampu berimplikasi terhadap pendidikan. Seperti, Capaian akhir dari konsep dasar Silih Asah adalah peningkatan kualitas kemanusiaan dalam segala aspeknya, baik pada tataran kognisi, afeksi, spiritual maupun psikomotorik. Kemudian capaian akhir dari konsep Silih Asih, yaitu peningkatan kualitas moral manusia dalam segala tindak tanduk kehidupannya, baik dalam pendidikan maupun dalam bersosial dengan cara berkasih sayang antar sesama. Dan terakhir capaian dari konsep Silih Asuh yaitu pengkikisan kebodohan dalam masyarakat dengan menerapkan konsep silih Asuh atau saling membimbing sehingga mewujudkan masyarakat sunda yang tata tentremkarta raharja (hidup tentram dan sejahtera).

Referensi:
Koentjaraningrat (2011). Pengeantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.
Nashih ‘Ulwan, Abdullah (2015). Pendidikan Anak Dalam Islam (Cet ke-6). Sukoharjo: Insan Kamil.
Syam, Nur (2012). Madzhab-madzhab Antropologi (cet ke-2). Yogyakarta: LkiS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suatu Subuh

Pemustaka: Menyemai Cakrawala Pemulia Aksara

Memaknai Wisuda dan Sakralitasnya