"Menarik Uang" Menelisik Ruang Hampa Kehidupan
Uang sebagai alat tukar yang sah jauh sudah digunakan manusia dan
dirasakan manfaatnya. Uang tidak hanya sebagai alat tukar yang sah, namun juga
indeks kebahagiaan manusia saat ini jika saya menilai sepihak. Indeks
kebahagiaan manusia hari ini ditentukan dengan banyak atau tidaknya uang yang
didapat juga diperoleh. Dari uang kita bisa melihat senyum dan raut tegang
wajah seseorang. Dengan uang pula kita bisa melihat baik buruknya sifat
seseorang ketika ada atau tidak ada uang dalam saku celananya.
Kehidupan kian
berjalan, mata pencaharian manusia juga kian beragam. Tetapi uang hanya satu
yang digunakan dalam menjalani kehidupan, ialah tinggi rendahnya nilai mata
uang. Sudah selayaknya manusia tidak terus menerus bergantung pada uang sebagai
simbol kehidupan. Bukankah nenek moyang kita dahulu tidak bergantung pada uang,
tanpa uang mereka bisa hidup dan menghidupi asalkan alam tetap setia
bersama-sama dalam mengarungi hidup. Bandingkan dengan kehidupan hari ini,
rasanya manusia akan mati jika tidak bergantung pada uang selama satu hari.
Uang sudah dianggap sebagai nyawa bagi sebagian manusia, bisa juga dianggap
sebagai udara yang jika tidak dihirup matilah kita.
Uang sudah
bertebaran dimana-mana, di tanah, di udara, di sela-sela tubuh kita, bahkan
juga di antara darah dan desirnya. Uang bisa kita dapatkan begitu saja
dimanapun dan kapanpun kita menghendakinya. Hari ini banyak di sekeliling kita
uang-uang yang tak bertuan, artinya uang tersebut tak menentu keberadaannya tak
tentu pula kepemilikannya. Asal kita berkehendak uang tersebut sudah sah
menjadi milik kita. Uang sekarang sudah menjelma menjadi bentuk lain, tidak
hanya kertas pada umumnya tetapi menjadi kartu yang bisa kita pergunakan untuk
menarik uang.
ATM atau Automated
Teller Mechine dalam bahasa Indonesia anjungan tunai mandiri sudah tidak
asing lagi dimata kita, mesin-mesin tersebut ada disetiap tikungan, beberapa
instansi juga pusat perbelanjaan. Tidak heran jika sebagian kalangan menengah
keatas saja yang memilikinya. Tetapi hari ini, kalangan menengah kebawah pun
sudah bisa menikmati manfaat dari mesin ini. Untuk memudahkan manusia menarik
uang dengan sebuah kartu yang dimiliki katanya.
Relaitas hari ini,
kita semua digiring pada sebuah budaya dimana kita semua tak bisa lagi mengelak
dan menampiknya ialah konsumtif, budaya konsumtif ini mengarahkan manusia untuk
membeli sebanyak-banyaknya untuk pemenuhan nafsu seluas-luasnya. Hal ini
diawali dengan banyaknya barang yang bertebaran, iklan-iklan berbagai produk
kebutuhan yang sebenarnya tidak begitu kita butuhkan hanya saja kita terkesan
gengsi jika tidak memilikinya. Realitas konsumtif manusia akan berdampak pada
nilai hidup yang tidak seimbang, sifat serakah yang dipupuk dari
keinginan-keinginan dan daya beli yang berlebihan. Sehingga yang dirasa
sekarang, ruang-ruang hampa kehidupan mulai asing terasa. Manusia perlahan
mulai asing dengan dirinya, manusia asing dengan sesamanya. Hanya berkawan
dengan anjungan tunai mandiri. Uang terus ditarik dari mesin-mesin atm,
pemenuhan keinginan terus juga dipupuk setiap harinya.
Hal inilah secara
tidak sadar menjauhkan manusia dari kesadaran dirinya menuju kehampaan dalam
kehidupan. Ia terus menerus membeli barang yang diinginkan, tetapi di sisi lain
ia pun sadar akan kehampaan dirinya. Terus menerus ‘menarik uang’ secara
otomatis pun ia telah ‘menarik diri’ dalam realitas hidupnya. Menarik diri
dalam hal ini adalah manusia dijauhkan dari posisinya sebagai makhluk sosial,
mereka hidup bermasyarakat yang senantiasa selalu membutuhkan setiap sisi
kehidupannya dengan masyarakat tetapi beralih seolah semuanya bisa dikendalikan
proses hidupnya dengan uang.
Bagaimana sejatinya
kita bijak terhadap uang? Alangkah lebih bijak ketika kita memberi posisi pada
uang tidak sebagai sesuatu yang harus dimiliki, tetapi sebagai sarana untuk
menunjang keberlangsungan kehidupan. Dengan memberi posisi pada uang, kita akan
lebih arif dalam menggunakannya, lebih selektif dalam memprioritaskannya. Sehingga
uang tidak menggiring kita pada realitas kehampaan diri, tidak mengarahkan juga
pada kelemahan pribadi.
Komentar
Posting Komentar