Memaknai Wisuda dan Sakralitasnya
Wisuda hanya sebatas ritual pemberian gelar oleh institusi
perguruan tinggi, ketika kita hanya melihat pada spektrum kecil. Namun
bagaimana dalam skala besar ritual “wisuda” tersebut? Sejatinya wisuda adalah
tonggak awal insan akademik dalam implementasi keilmuan yang didapat dalam
proses panjang perkuliaahan. Setelah wisuda mahasiswa tidak menyandang gelarnya
lagi sebagai “mahasiswa” namun sebagai “sarjana” yang telah sah dan kompeten
dalam satu keilmuan. Seseorang yang telah diwisuda dituntut berperan aktif
dalam memecahkan berbagai persoalan hidup di masyarakat dengan satu disiplin
ilmu yang dikuasainya. Berbagai persoalan hadir di masyarakat tentunya tidak
serta merta diajarkan dalam perkuliahan, tetapi dari proses panjang dalam
menghayati serta hidup dan terjun langusung di masyarakat. Persoalan ini boleh
jadi lebih rumit dari pada sederetan tugas mata kuliah yang dibebankan oleh
dosen kepada mahasiswanya, sebut saja tugas dalam menyusun makalah, laporan
hasil praktikum, bahkan membuat laporan penelitian. Persoalan dimasyarakat
jelaslah lebih kompleks dibanding itu semua.
Persoalan
dimasyarakat hari ini bukan lagi sekedar salah paham disebagian golongan atau
kelompok tertentu, tetapi lebih pada masalah-masalah yang sifatnya serius juga
perlu pemecahan secara metodik dan komprehensif. Jika seorang sarjana atau
seseorang yang telah diwisuda tidak bisa memecahkan masalahnya secara dewasa,
bagaiamana mungkin masyarakat akan menilai baik dari hasil prestasi, prestise,
dan kompetensi yang dimilikinya yang ada malah menjadi mindset bahwa
tidak ada beda sama sekali seseorang yang menempuh pendidikan tinggi dengan
seseorang yang katakanlah tidak merasakan menempuh pendidikan dibangku
perkuliahan. Atau bahkan lebih seriusnya ada bahasa “untuk apa kuliah” jika
pada akhirnya semua sama dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat serta
kebermanfaatan yang diberikan tidak lebih tinggi dari pada orang pada umumnya.
Maka dari itulah
proses panjang keberlangsungan mahasiswa sebelum menempuh prosesi wisuda ini
sangatlah serius. Salah satu keseriusan yang dituntut adalah pengerjaan tugas
akhir atau yang biasa disebut dengan skripsi. Rangkaian panjang penyusunan
skripsi ini adalah bagian dari fase hidup mahasiswa, dimana didalamnya bukan
sekedar memenuhi tugas akhir semata tetapi juga memaknai setiap jerih payah
yang dilakukan diharap mampu berimplikasi pada cara berpikir, implementasi
keilmuan, serta memahami setiap persoalan dan pemecahan masalahnya secara
dewasa.
Wisuda Sebagai Budaya
Hari ini budaya wisuda
dilihat dari sudut nama tidak lagi disandingkan pada perguruan tinggi semata,
namun berbagai institusi pendidikan pun telah memakai terminilogi wisuda ini
ketika selesai dalam proses pendidikan dan persekolahan, pada siswa pendidikan
anak usia dini pun telah digunakan istilah wisuda. Artinya ia yang belum
memiliki satu disiplin ilmu, bahkan mau memulai satu proses awal pendidikan dan
pembelajaran di sekolah sudah dinyatakan ‘telah wisuda’. Bagaiaman mungkin
logika ini saya terima tetapi apalah daya memang beginilah realitasnya.
Dahulu kita
mengenal adanya istilah kenaikan kelas atau seremonial perpisahan bagi siswa
yang akan meninggalkan sekolah menuju jenjang yang lebih tinggi. Dengan
berbagai acara dan kegiatan yang dikemas oleh panitia menjadikannya berkesan
sebagai kenangan semasa di sekolah dahulu. Memang tidak ada salahnya
menggunakan istilah “wisuda”, hanya menurut saya penggunaan istilah itu dirasa
kurang tepat. Sebab bagaimanapun wisuda inilah seremonial-formal bagi mahasiswa
yang telah menyelesaikan pendidikan serta proses pemberian gelar akademik oleh
institusi perguruan tinggi.
Ya itulah fenomena
wisuda hari ini, seolah kehilangan sakralitasnya. Padahal wisuda ini
diidentikan dengan seseorang yang telah kompeten dalam satu disiplin ilmu dan
pemberian gelar akademiknya ditandai dengan prosesi wisuda, yang di dalamnya
memakai berbagai atribut kebesaran seperti topi segi lima dan baju yang sering
dinamakan dengan “toga”.
Simbolisasi Wisuda
Dalam prosesnya, pelaksanaan
wisuda ini diawali dengan sidang senat terbuka dalam rangka pelepasan wisudawan
atau wisudawati pada setiap jenjang program baik itu sarjana, magister, dan
doktoral. Setiap mahasiswa berderet berbaris menghadap pimpinan tertinggi
kampus untuk secara simbolis pemindahan benang toga yang awalnya dari kiri ke
kanan. Entah apa yang menjadikan simbol ini, jika saya boleh menelisik dan
menafsirnya secara sepihak ini menyimbolkan bahwa mahasiswa dituntun untuk
menyama ratakan antara idealis menuju pragmatis, dari kritis menuju dogmatis. Kita
lihat bersama bahwa sebagian mahasiswa sebelum prosesi wisuda dengan berbagai
ideologi dan idealisme nya menggebu-gebu dalam berbagai hal, namun apa daya
yang dilihat dalam proses akhir penyususnan skripsi ini. Yang ada hanya tinggal
pragmatisme belaka, segala tuntutan, ide-ide kreatif diarahkan begitu saja
dalam satu pemikiran, satu sumber dan satu “kehendak” yang dituntun langsung
oleh dosen pembimbing akademik.
Ada lagi yang
tidak kalah seru yang perlu kita maknai dari simbolisasi prosesi wisuda ini,
ialah pemberian bunga kepada wisudawan. Seperti tak ada simbol lain yang lebih praktis
dan terlihat akademis. Secara umum pemberian bunga ini menjadi simbol
kebahagiaan, namun di sisi lain juga bunga ini sebagai simbol kedukaan bagi seseorang
yang ditinggalkan. Bunga juga dilihat dari ketahanannya bisa layu, seolah
mahasiswa setelah wisuda ini layu begitu saja bagai bunga pemberian. Tidak ada
gerak, semua sama diarahkan pada gelombang dan lingkar pekerjaan yang
membayang. Pendidikan menjadi lebih sempit jika pada akhirnya nilai seseorang
ditentukan dengan pekerjaan. Entah siapa yang menuntun kita sampai sejauh ini.
Selain dari itu,
ada juga simbolisasi doa yang dipanjatkan dan diberikan kepada wisudawan oleh
rekan-rekannya ialah doa “Semoga Ilmunya Bermanfaat”. Sekilas dari doa tersebut
cukuplah umum kita dengar, namun bagi saya dari doa tersebut seolah
mendiskreditkan ilmu yang telah didapatnya. Dari doa itulah seolah ilmu yang
didapat tidaklah bermanfaat, tetapi setelah wisuda orang-orang mendoakan supaya
ilmunya bermanfaat. Seolah ada ketidak bermanfaatan ilmu selama mengalami
proses panjang perkuliahan. Bagaimanapun ilmu di dunia ini sangatlah
bermanfaat, apa yang tidak manfaat dari ilmu? Hanya mereka saja yang tidak
memanfaatkan ilmu tersebut atau boleh jadi memanfaatkan ilmu ke jalan yang
salah. Jika boleh memberi saran pada doa setelah wisuda gunakan kalimat doa
dengan memohon keridhoan kepada Tuhan, semoga ilmu-ilmu yang didapat dalam
proses panjang pendidikan ini mendapat keridhoan-Nya.
Alangkah lebih
bijak ketika kita bisa memahami sekaligus memaknai lebih dalam dengan keluasan
hati, ketajaman logika dan kejernihan berpikir tentang wisuda ini. Tantangan
kita kedepan tidak berhenti setelah wisuda, ada banyak persoalan yang perlu
dijawab dan diselesaikan. Satu persatu persoalan itu bertumpu pada kita dari
generasi ke generasi, jika tidak kita pikirkan bersama tentunya ini akan
menjadi warisan yang terus mengalir pada pundak generasi. Sarjana demi sarjana
wisuda begitu saja, namun persoalan yang ada tidak berkurang malah menjadi
tabungan persoalan bagi kita semua. Pendidikan, sosial, budaya, politik,
ekonomi, agama, bukankah hal itu semua diajarkan dalam perkuliahan. Bahkan
menjadi jurusan satu disiplin ilmu yang dikuasai mahasiswa. Mari kita berbenah
diri, bijak dalam bertindak dan arif dalam berpihak. Pandai menilai dengan
senantiasa membaca realitas yang ada dengan selalu melihat pada
kebenaran-kebaikan-keindahan, metodik-etik-estetik.
Komentar
Posting Komentar