Angkringan Dalam Tinjauan Filosofis Dan Relevansi Budaya
Oleh: Arief Nur Rohman
Angkringan hari ini telah berekspansi ke berbagai sudut-sudut kota di pulau Jawa, dengan hadirnya angkringan sebagai tujuan penjualan, maka secara tidak sadar pula masyarakat sekitar berperan sebagai pembeli sekaligus aktor dalam menerima beberapa pola budaya yang dibawa oleh angkringan. Jika kita telusuri bersama bahwa angkringan ini menjadi satu realitas yang tidak terpisahkan dengan kebutuhan manusia, yaitu makan dan makanan. Makanan sebagai satu dari sekian banyak penunjang pemenuhan kebutuhan hidup manusia kita maknai keberadaannya tidak sebagai sesuatu yang dikonsumsi kemudian menjadi energi, nutrisi, dan gizi bagi tubuh. Akan tetapi juga sebagai energi, nutrisi, dan gizi bagi satu konsepsi berpikir manusia secara filosofis, mengakar dan integral berdasarkan satu realitas relevansi budayanya.
Angkringan sebagai realitas budaya sejatinya kita telusuri mulai dari keberadaannya, pola-pola relevansi budaya, sampai pada tinjauan filosfis praktis yang terkandung di dalamnya. Dalam tulisan sebelumnya, angkringan ditinjau dari sudut budaya memberikan kepada kita satu nilai hidup yang mesti kita hayati bersama ialah kesederhanaan. Kesederhanaan hidup, gaya, perilaku dan sikap kita terhadap semua makhluk di bumi ini. Selain dari itu, kita menemukan satu hal baru di angkringan ialah ekspansi budaya. Dalam hal ini ekspansi budaya yang dibawa oleh angkringan adalah dengan cara berjualan dari satu kota ke kota lainnya.
Dalam tulisan kali ini, saya mencoba menghadirkan kemasan angkringan dalam hal ini adalah makanan yang terdapat di angkringan meninjau nya dari sudut filosofi dan realitas relevansi budaya. Di angkringan kita akan menemukan berbagai makanan, mulai dari sego kucing, berbagai sate, dan beberapa minuman. Dalam hal makanan tentunya tidak serta merta kita nikmati begitu saja sebagai penunjang pemenuhan kebutuhan, tetapi juga ada satu buah nilai filosofis yang belum kita ketahui keberadaannya. Maka dari itulah saya akan mencoba mengurai beberapa makanan dan minuman yang dijual di angkringan.
Pertama, sego kucing. Sego secara bahasa artinya adalah nasi. Nasi inilah yang menjadi bahan pokok makanan orang Indonesia. Namun mengapa nasi ini bisa disandingkan dengan kucing sehingga penyebutan nya menjadi sego kucing, padahal sego kucing ini adalah konsumsi manusia bukan konsumsi kucing itu sendiri. Berdasarkan informan yang saya temui, pada mulanya penyebutan sego kucing ini diinisiasi oleh beberapa mahasiswa Yogyakarta. Penyebutan sego kucing ini merupakan bentuk ‘protes’ mereka sebab yang menjadi porsi dalam sego kucing ini sedikit atau boleh dikatakan porsi ini layak untuk dikonsumsi kucing. Maka dari itulah penyebutan dari salah satu makanan yang dijual di angkringan ini dengan sego kucing atau nasi kucing sebab porsinya sedikit. Padahal sebelum penyebutan sego kucing yang diinisiasi oleh mahasiswa ini, para pembeli menyebutnya dengan sebutan nasi dan beberapa menu yang dijualnya. Misal nasi oreg tempe, nasi teri, nasi usus.
Jika kita tinjau secara filosofis, sego kucing atau nasi kucing ini adalah satu bentuk moralitas-ethics terhadap sikap hidup yang menunjukkan dan mengarah pada kesederhanaan, keseimbangan porsi dan tidak berlebihan. Berdasarkan pada satu magnum opus nya Aristoteles dalam Nichomachean Etichs menggambarkan satu pandangan mengenai keutamaan manusia, yang didasarkan pada sifat dasar manusia, terutama yang mencakup pelaksanaan kebajikan moral, seperti kegigihan, kesederhanaan dan kebebasan. Artinya dalam hal ini kita menemukan satu sikap hidup berdasarkan pada sego kucing ialah manusia diarahkan pada sifat dilihat dari apa yang menjadi konsumsi utamanya. Dalam sego kucing kita melihat satu porsi yang sedikit, satu porsi yang oleh sebagian orang boleh jadi dikata ‘kurang’ dan tidak menerima porsi tersebut. Akan tetapi di angkringan kita menemukan satu makanan ialah sego kucing yang mau tidak mau kita selaku pembeli menerima satu porsi tersebut sebagai konsumsi kita. Maka berdasarkan pada realitas tersebut kita menemukan satu relevansi budaya yang mengarahkan kita pada satu pola dan tatanan nilai yang tidak boleh berlebihan,adanya keseimbangan porsi, bersikap menerima apa adanya dan kesederhanaan yang mesti kita pupuk setiap harinya sehingga menjadi sikap dan sifat yang melekat pada keseharian yang bisa diterapkan dalam proses keberlangsungan kehidupan. Sebab hari ini dengan melimpahnya berbagai produk seolah kita digiring pada satu budaya konsumtif atau mengonsumsi secara berlebih, maka dengan realitas budaya yang dibawa sego kucing inilah akan menjadi bendungan arus dari budaya konsumtif tersebut.
Kedua, Sate. Jika kita berkunjung ke angkringan, maka kita akan menemukan beberapa jenis sate disana. ada sate kepala ayam, sate usus, sate telur puyuh, sate baso, sate sosis, dan masih banyak lagi jenis sate yang lain. Berbicara mengenai sate, ada yang unik di sini yang akan kita tinjau berdasarkan pada filosofis ialah sate kepala ayam. Mengapa saya menyoroti sate kepala ayam? Karena selain sebagai makanan favorit yang laku di angkringan juga mengandung nilai filosofis yang mendalam. Sate kepala ayam ini merupakan satu bentuk gambaran terhadap nilai luhur, simbolisasi pemikiran, akal, otak, atau kepala yang menjadi simbol dan identitas diri. Akan tetapi berbeda dengan di angkringan, sate kepala ayam ini diarahkan pada satu entitas berpikir untuk bisa bersikap menginjak-injak simbol keluhuran, menusuk kesombongan hidup, dan merendahkan sikap pemikiran. Terbukti dengan dibuatkan nya kepala ayam ini dibentuk sejenis sate. Sate ini secara bentuk di tusuk satu persatu kemudian dibakar dan kita nikmati hasil tersebut. Artinya dalam bersikap terhadap hidup ini, sesekali kita berkaca terhadap diri sendiri dan bertanya terhadap pencapaian untuk tidak jumawa dan membandingkan hasil orang lain. Toh pada akhirnya kita menikmati sendiri, menikmati masing-masing dari hasil tersebut. Ada logika yang mesti dibalik disini, biasanya kita menuntut diri untuk selalu bersikap luhur menempatkan diri diatas sebagai satu identitas agar bisa dikenal. Akan tetapi realitas yang ada di angkringan ini dengan menikmati sate kepala ayam, kita mesti membaliknya agar menikmati dari segala sesuatunya. Dengan merendahkan serendah-rendahnya, menusuk-nusuk bagian kepala atau tidak menjadikan diri jumawa. Inilah satu keluhuran yang mesti kita rendahkan, bukan berarti kita menolak segala hal yang bersifat luhur tetapi adakalanya kita mempunyai satu sikap merendah dan tidak besar kepala.
Ketiga, minuman. Ada beberapa jenis minuman yang dijajakan di angkringan, diantaranya adalah wedang jahe, kopi jos, dan teh. Ada yang unik dari cara memasak ketiga jenis minuman ini. Dalam memasaknya ia menggunakan arang sebagai bahan untuk memanaskan air. Arang yang dijadikan bahan dasar untuk membuat ketiga jenis minuman ini perlu penanganan khusus sehingga bisa selalu menghantarkan panas. Arang yang dipanaskan harus stabil antara suhu, temperatur air, dan kobaran bara yang dihasilkan oleh arang tersebut. Kobaran bara yang dihasilkan dari arang ini dinilai sebagai satu nilai filosofis dari semangat hidup, kobaran sikap yang tidak mudah menyerah dan kerja keras. artinya kita menemukan satu nilai hidup disini satu realitas yang tidak bisa kita elak keberadaannya, tentang memaknai setiap kehidupan dengan tidak mudah menyerah atas segala pencapaiannya. Selain itu ada juga teko khusus yang menjadi identitas angkringan ini. Mereka menjadikan teko sebagai identitasnya untuk bisa memudahkan dan membedakan pembeli antara yang menjual angkringan ‘asli’ dari daerah Jawa dan yang menjual angkirngan dari luar Jawa atau dari daerah lain yang bermaksud untuk berjualan angkringan yang sama.
Terlepas dari makanan dan minuman yang telah diurai di atas, ada satu sikap yang tidak kalah menarik yang ditampilkan di angkringan ialah solidaritas etnis. Solidaritas etnis yang dihadirkan di angkringan tidak terlepas dari sikap toleran penjual dengan senantiasa menunjukkan sikap menerima perbedaan bahasa. Misalnya mereka yang berjualan di daerah yang notabene bukan berbahasa Jawa tetapi bisa berbaur dan mencoba memahami bahasa setempat dengan tidak meninggalkan bahasa daerahnya sendiri. Selain dari itu, ada sikap kesabaran melayani pembeli. Tidak semua penjual mempunyai sikap ini, dan tidak menutup kemungkinan juga tidak banyak penjual yang legowo menghadapi berbagai macam tipe pembeli. Berdasarkan informan bahwa, manajerial yang dilakukan antara penjual dan pembeli itu penting. Terkadang ada pembeli yang memesan berbagai jenis makanan di angkringan harus sesegara itupula dilayani, belum lagi dengan pembeli yang datang dengan memesan jenis makanan yang lain, ada juga mereka yang membayar dan harus mengatur uang kemabali pembeli. Tentunya hal ini harus senantiasa memperhatikan skala prioritas pembeli, waktu yang diluangkan, dan emosi yang stabil. Maka dari itu dengan yakinnya informan yang saya temui mengeluarkan satu pernyataan bahwa “Saya menjamin selain orang Jawa tidak akan mampu berjualan angkringan”.
Di angkringan saya banyak hal yang belum pernah ditemukan sebelumnya, mulai dari memaknai berbagai simbol makanan, menemukan satu nilai hidup, dan proses berpikir panjang secara integral dan mendalam. Sebagai satu simpulan saya akan menarik satu benang merah di sini, ialah tentang kesadaran diri dan sikap manusia sebagai makhluk mikrokosmos dan makrokosmos. Makrokosmos dan mikrokosmos berawal dari skema Neo-Platonik Yunani kuno yang melihat pengulangan pola yang sama disetiap tingkatan kosmos, mulai dari ukuran terbesar sampai ukuran terkecil. Lantas dimananakah posisi manusia, sebagai mikrokosmos atau sebagai makrokosmos? Dalam sistem ini mikrokosmos dan makrokosmos manusia sebagai penengah dan penyeimbang yang meringkas seluruh kosmos dalam arti tatanan dunia. Bagaimana kaitan antara angkringan, mikrokosmos dan makrokosmos? Kaitan dengan hal ini adalah manusia bisa sebagai penengah atau penyeimbang serta menjaga keseimbangan hidup sehingga bisa berlangsung baik sebagai mikrokosmos atau makrokosmos. Sementara angkringan adalah satu entitas realitas hidup makrokosmos, sebagai makrokosmos angkringan mampu memainkan perannya sebagai subjek penjual, menjajakan makanan, objek budaya. Dalam hal makanan angkringan sebagai makrokosmos terbukti dengan banyaknya varian makanan, jenis, dan rasa disana dengan skala besar yang meliputi air dan makhluk hidup sebagai objek makanannya. Yang dimaksud air adalah angkringan menjajakan jenis minuman seperti wedang jahe, kopi jos, dan teh. Sementara makanan yang berasal dari makhluk hidup adalah sate kepala ayam, sate sayap, sate usus, dan berbagai jenis sate lainnya yang berasal dari beberapa bagian yang diolah menjadi makanan yang berasal dari ayam sebagai makhluk hidup. Jadi bisa kita tarik kesimpulan bahwa angkringan sebagai satu realitas kehidupan, satu realitas budaya, dan satu nilai filosofis harus kita maknai keberadaannya dengan senantiasa berpikir secara mendalam dengan kepekaan rasa dan ketajaman logika sehingga dari proses berpikir inilah kita menemukan satu sikap bijak terhadap realitas kehidupan, realitas budaya yang dihasilkan dan satu nilai filosofis yang kita dapatkan.
Angkringan hari ini telah berekspansi ke berbagai sudut-sudut kota di pulau Jawa, dengan hadirnya angkringan sebagai tujuan penjualan, maka secara tidak sadar pula masyarakat sekitar berperan sebagai pembeli sekaligus aktor dalam menerima beberapa pola budaya yang dibawa oleh angkringan. Jika kita telusuri bersama bahwa angkringan ini menjadi satu realitas yang tidak terpisahkan dengan kebutuhan manusia, yaitu makan dan makanan. Makanan sebagai satu dari sekian banyak penunjang pemenuhan kebutuhan hidup manusia kita maknai keberadaannya tidak sebagai sesuatu yang dikonsumsi kemudian menjadi energi, nutrisi, dan gizi bagi tubuh. Akan tetapi juga sebagai energi, nutrisi, dan gizi bagi satu konsepsi berpikir manusia secara filosofis, mengakar dan integral berdasarkan satu realitas relevansi budayanya.
Angkringan sebagai realitas budaya sejatinya kita telusuri mulai dari keberadaannya, pola-pola relevansi budaya, sampai pada tinjauan filosfis praktis yang terkandung di dalamnya. Dalam tulisan sebelumnya, angkringan ditinjau dari sudut budaya memberikan kepada kita satu nilai hidup yang mesti kita hayati bersama ialah kesederhanaan. Kesederhanaan hidup, gaya, perilaku dan sikap kita terhadap semua makhluk di bumi ini. Selain dari itu, kita menemukan satu hal baru di angkringan ialah ekspansi budaya. Dalam hal ini ekspansi budaya yang dibawa oleh angkringan adalah dengan cara berjualan dari satu kota ke kota lainnya.
Dalam tulisan kali ini, saya mencoba menghadirkan kemasan angkringan dalam hal ini adalah makanan yang terdapat di angkringan meninjau nya dari sudut filosofi dan realitas relevansi budaya. Di angkringan kita akan menemukan berbagai makanan, mulai dari sego kucing, berbagai sate, dan beberapa minuman. Dalam hal makanan tentunya tidak serta merta kita nikmati begitu saja sebagai penunjang pemenuhan kebutuhan, tetapi juga ada satu buah nilai filosofis yang belum kita ketahui keberadaannya. Maka dari itulah saya akan mencoba mengurai beberapa makanan dan minuman yang dijual di angkringan.
![]() |
Pertama, sego kucing. Sego secara bahasa artinya adalah nasi. Nasi inilah yang menjadi bahan pokok makanan orang Indonesia. Namun mengapa nasi ini bisa disandingkan dengan kucing sehingga penyebutan nya menjadi sego kucing, padahal sego kucing ini adalah konsumsi manusia bukan konsumsi kucing itu sendiri. Berdasarkan informan yang saya temui, pada mulanya penyebutan sego kucing ini diinisiasi oleh beberapa mahasiswa Yogyakarta. Penyebutan sego kucing ini merupakan bentuk ‘protes’ mereka sebab yang menjadi porsi dalam sego kucing ini sedikit atau boleh dikatakan porsi ini layak untuk dikonsumsi kucing. Maka dari itulah penyebutan dari salah satu makanan yang dijual di angkringan ini dengan sego kucing atau nasi kucing sebab porsinya sedikit. Padahal sebelum penyebutan sego kucing yang diinisiasi oleh mahasiswa ini, para pembeli menyebutnya dengan sebutan nasi dan beberapa menu yang dijualnya. Misal nasi oreg tempe, nasi teri, nasi usus.
Jika kita tinjau secara filosofis, sego kucing atau nasi kucing ini adalah satu bentuk moralitas-ethics terhadap sikap hidup yang menunjukkan dan mengarah pada kesederhanaan, keseimbangan porsi dan tidak berlebihan. Berdasarkan pada satu magnum opus nya Aristoteles dalam Nichomachean Etichs menggambarkan satu pandangan mengenai keutamaan manusia, yang didasarkan pada sifat dasar manusia, terutama yang mencakup pelaksanaan kebajikan moral, seperti kegigihan, kesederhanaan dan kebebasan. Artinya dalam hal ini kita menemukan satu sikap hidup berdasarkan pada sego kucing ialah manusia diarahkan pada sifat dilihat dari apa yang menjadi konsumsi utamanya. Dalam sego kucing kita melihat satu porsi yang sedikit, satu porsi yang oleh sebagian orang boleh jadi dikata ‘kurang’ dan tidak menerima porsi tersebut. Akan tetapi di angkringan kita menemukan satu makanan ialah sego kucing yang mau tidak mau kita selaku pembeli menerima satu porsi tersebut sebagai konsumsi kita. Maka berdasarkan pada realitas tersebut kita menemukan satu relevansi budaya yang mengarahkan kita pada satu pola dan tatanan nilai yang tidak boleh berlebihan,adanya keseimbangan porsi, bersikap menerima apa adanya dan kesederhanaan yang mesti kita pupuk setiap harinya sehingga menjadi sikap dan sifat yang melekat pada keseharian yang bisa diterapkan dalam proses keberlangsungan kehidupan. Sebab hari ini dengan melimpahnya berbagai produk seolah kita digiring pada satu budaya konsumtif atau mengonsumsi secara berlebih, maka dengan realitas budaya yang dibawa sego kucing inilah akan menjadi bendungan arus dari budaya konsumtif tersebut.
![]() |
Kedua, Sate. Jika kita berkunjung ke angkringan, maka kita akan menemukan beberapa jenis sate disana. ada sate kepala ayam, sate usus, sate telur puyuh, sate baso, sate sosis, dan masih banyak lagi jenis sate yang lain. Berbicara mengenai sate, ada yang unik di sini yang akan kita tinjau berdasarkan pada filosofis ialah sate kepala ayam. Mengapa saya menyoroti sate kepala ayam? Karena selain sebagai makanan favorit yang laku di angkringan juga mengandung nilai filosofis yang mendalam. Sate kepala ayam ini merupakan satu bentuk gambaran terhadap nilai luhur, simbolisasi pemikiran, akal, otak, atau kepala yang menjadi simbol dan identitas diri. Akan tetapi berbeda dengan di angkringan, sate kepala ayam ini diarahkan pada satu entitas berpikir untuk bisa bersikap menginjak-injak simbol keluhuran, menusuk kesombongan hidup, dan merendahkan sikap pemikiran. Terbukti dengan dibuatkan nya kepala ayam ini dibentuk sejenis sate. Sate ini secara bentuk di tusuk satu persatu kemudian dibakar dan kita nikmati hasil tersebut. Artinya dalam bersikap terhadap hidup ini, sesekali kita berkaca terhadap diri sendiri dan bertanya terhadap pencapaian untuk tidak jumawa dan membandingkan hasil orang lain. Toh pada akhirnya kita menikmati sendiri, menikmati masing-masing dari hasil tersebut. Ada logika yang mesti dibalik disini, biasanya kita menuntut diri untuk selalu bersikap luhur menempatkan diri diatas sebagai satu identitas agar bisa dikenal. Akan tetapi realitas yang ada di angkringan ini dengan menikmati sate kepala ayam, kita mesti membaliknya agar menikmati dari segala sesuatunya. Dengan merendahkan serendah-rendahnya, menusuk-nusuk bagian kepala atau tidak menjadikan diri jumawa. Inilah satu keluhuran yang mesti kita rendahkan, bukan berarti kita menolak segala hal yang bersifat luhur tetapi adakalanya kita mempunyai satu sikap merendah dan tidak besar kepala.
Ketiga, minuman. Ada beberapa jenis minuman yang dijajakan di angkringan, diantaranya adalah wedang jahe, kopi jos, dan teh. Ada yang unik dari cara memasak ketiga jenis minuman ini. Dalam memasaknya ia menggunakan arang sebagai bahan untuk memanaskan air. Arang yang dijadikan bahan dasar untuk membuat ketiga jenis minuman ini perlu penanganan khusus sehingga bisa selalu menghantarkan panas. Arang yang dipanaskan harus stabil antara suhu, temperatur air, dan kobaran bara yang dihasilkan oleh arang tersebut. Kobaran bara yang dihasilkan dari arang ini dinilai sebagai satu nilai filosofis dari semangat hidup, kobaran sikap yang tidak mudah menyerah dan kerja keras. artinya kita menemukan satu nilai hidup disini satu realitas yang tidak bisa kita elak keberadaannya, tentang memaknai setiap kehidupan dengan tidak mudah menyerah atas segala pencapaiannya. Selain itu ada juga teko khusus yang menjadi identitas angkringan ini. Mereka menjadikan teko sebagai identitasnya untuk bisa memudahkan dan membedakan pembeli antara yang menjual angkringan ‘asli’ dari daerah Jawa dan yang menjual angkirngan dari luar Jawa atau dari daerah lain yang bermaksud untuk berjualan angkringan yang sama.
Terlepas dari makanan dan minuman yang telah diurai di atas, ada satu sikap yang tidak kalah menarik yang ditampilkan di angkringan ialah solidaritas etnis. Solidaritas etnis yang dihadirkan di angkringan tidak terlepas dari sikap toleran penjual dengan senantiasa menunjukkan sikap menerima perbedaan bahasa. Misalnya mereka yang berjualan di daerah yang notabene bukan berbahasa Jawa tetapi bisa berbaur dan mencoba memahami bahasa setempat dengan tidak meninggalkan bahasa daerahnya sendiri. Selain dari itu, ada sikap kesabaran melayani pembeli. Tidak semua penjual mempunyai sikap ini, dan tidak menutup kemungkinan juga tidak banyak penjual yang legowo menghadapi berbagai macam tipe pembeli. Berdasarkan informan bahwa, manajerial yang dilakukan antara penjual dan pembeli itu penting. Terkadang ada pembeli yang memesan berbagai jenis makanan di angkringan harus sesegara itupula dilayani, belum lagi dengan pembeli yang datang dengan memesan jenis makanan yang lain, ada juga mereka yang membayar dan harus mengatur uang kemabali pembeli. Tentunya hal ini harus senantiasa memperhatikan skala prioritas pembeli, waktu yang diluangkan, dan emosi yang stabil. Maka dari itu dengan yakinnya informan yang saya temui mengeluarkan satu pernyataan bahwa “Saya menjamin selain orang Jawa tidak akan mampu berjualan angkringan”.
Di angkringan saya banyak hal yang belum pernah ditemukan sebelumnya, mulai dari memaknai berbagai simbol makanan, menemukan satu nilai hidup, dan proses berpikir panjang secara integral dan mendalam. Sebagai satu simpulan saya akan menarik satu benang merah di sini, ialah tentang kesadaran diri dan sikap manusia sebagai makhluk mikrokosmos dan makrokosmos. Makrokosmos dan mikrokosmos berawal dari skema Neo-Platonik Yunani kuno yang melihat pengulangan pola yang sama disetiap tingkatan kosmos, mulai dari ukuran terbesar sampai ukuran terkecil. Lantas dimananakah posisi manusia, sebagai mikrokosmos atau sebagai makrokosmos? Dalam sistem ini mikrokosmos dan makrokosmos manusia sebagai penengah dan penyeimbang yang meringkas seluruh kosmos dalam arti tatanan dunia. Bagaimana kaitan antara angkringan, mikrokosmos dan makrokosmos? Kaitan dengan hal ini adalah manusia bisa sebagai penengah atau penyeimbang serta menjaga keseimbangan hidup sehingga bisa berlangsung baik sebagai mikrokosmos atau makrokosmos. Sementara angkringan adalah satu entitas realitas hidup makrokosmos, sebagai makrokosmos angkringan mampu memainkan perannya sebagai subjek penjual, menjajakan makanan, objek budaya. Dalam hal makanan angkringan sebagai makrokosmos terbukti dengan banyaknya varian makanan, jenis, dan rasa disana dengan skala besar yang meliputi air dan makhluk hidup sebagai objek makanannya. Yang dimaksud air adalah angkringan menjajakan jenis minuman seperti wedang jahe, kopi jos, dan teh. Sementara makanan yang berasal dari makhluk hidup adalah sate kepala ayam, sate sayap, sate usus, dan berbagai jenis sate lainnya yang berasal dari beberapa bagian yang diolah menjadi makanan yang berasal dari ayam sebagai makhluk hidup. Jadi bisa kita tarik kesimpulan bahwa angkringan sebagai satu realitas kehidupan, satu realitas budaya, dan satu nilai filosofis harus kita maknai keberadaannya dengan senantiasa berpikir secara mendalam dengan kepekaan rasa dan ketajaman logika sehingga dari proses berpikir inilah kita menemukan satu sikap bijak terhadap realitas kehidupan, realitas budaya yang dihasilkan dan satu nilai filosofis yang kita dapatkan.
Komentar
Posting Komentar